Lindungi Petani Sawit, Perlukah Dibuat Regulasinya?
By Dewi Sulistiawaty - Februari 20, 2016
Sumber: www.ditjenbun.pertanian.go.id |
Sawit merupakan komoditi ekspor
terbesar kedua di Indonesia setelah migas. Dalam perkembangannya, industri sawit
telah memberikan dampak besar terhadap perekonomian kita. Sektor ini
menjadi strategis karena berpeluang besar menjadi salah satu penghasil sumber
devisa terbesar bagi negara.
Melihat prospek yang sangat
menjanjikan ini, para petani lokal banyak yang mulai beralih dari menanam karet
dan padi, menjadi petani Kelapa Sawit. Menurut data Palm Oil Agribussiness
Strategic Policy Institute (PASPI), jumlah unit usaha petani Sawit terus
mengalami peningkatan, dari 142 unit dengan luas lahan 291,33 ribu ha pada
tahun 1990, menjadi 3703 unit usaha dengan luas kebun Sawit 3,79 juta ha pada
tahun 2013.
Pihak swasta pun mulai melirik
bisnis ini sebagai peluang. Banyak perusahaan Sawit yang mendirikan
usahanya di daerah-daerah. Dalam rangka mengembangkan lahan Sawit, perusahaan membuat kesepakatan dengan masyarakat agar mau menyewakan lahannya. Bahkan
beberapa diantara masyarakat telah ikut bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit ini.
Namun kemudian beberapa
perusahaan besar seperti Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden
Agri, dan Asian Agri mulai menerapkan IPOP (Indonesian Palm Oil Pledge) pada perusahaan
mereka.
IPOP adalah perjanjian yang
merupakan inisiatif dan komitmen nyata dari pihak swasta di sektor Kelapa Sawit. IPOP ditandatangani di Amerika pada
tanggal 25 September 2015 lalu. Dalam perkembangannya, pendirian IPOP dikatakan
telah memberikan dampak buruk bagi para petani Sawit Indonesia.
Syarat yang diterapkan dalam
peraturan IPOP diantaranya adalah :
1.
Melarang ekspansi kebun Sawit (No deforestation)
2.
Melarang kebun Sawit di lahan gambut (No peatland)
3.
Pelarangan kebun Sawit menggunakan lahan
berkarbon tinggi/ High Carbon Stock (No HCS)
4.
Melarang menampung TBS/ CPO dari kebun Sawit
hasil deforestasi, lahan gambut, dan HCS (Traceability)
Akibat dari peraturan ini, maka para petani Sawit yang kebanyakan memang mengolah Sawit mereka pada lahan gambut, tidak
bisa lagi menjual TBS (Tandan Buah Segar) mereka pada perusahaan yang ikut
menandatangani perjanjian IPOP tersebut, karena perusahan tersebut akan menolak
membeli jika petani tidak bisa memenuhi syarat yang ada pada IPOP.
Ini tentu saja akan berdampak
buruk pada iklim investasi, dan dapat mengganggu kehidupan petani Kelapa Sawit
Indonesia. Petani dan perusahaan kecil mengalami kesulitan dalam menjual TBS
mereka. Bahkan beberapa perusahaan kecil gulung tikar karena tidak ada yang
membeli produk mereka.
Ir. Gamal Nasir, MS |
Dirjen Perkebunan Kementan RI, Ir. Gamal
Nasir, MS mengatakan bahwa hal ini tentu akan menyakitkan bagi para petani
Sawit, karena mereka banyak mengalami kendala dalam menjual Sawit mereka.
Keikutsertaan 5 perusahaan besar dalam IPOP ini dianggap tidak masuk akal.
Pemerintah akan turun tangan dalam mengatasi hal ini, dan yang pasti akan berpihak
pada para petani.
Dalam diskusi bertemakan ‘Bermartabatkah
Sawit Kita’ pada Rabu (17/2/15) di Hotel Aston Jakarta kemarin, Bapak Gamal
menjelaskan lagi bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki ISPO (Indonesia
Sustainable Palm Oil), jadi keberadaan IPOP dianggap tidak perlu lagi.
Hadir pada diskusi tersebut Dirjen
Perkebunan, Ir. Gamal Nasir, MS; Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo;
Asisten Daerah II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kalimantan Timur, M.
Sabani, sekaligus mewakili Gubernur Kaltim; Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Muhibul; Ketua GAPKI Cabang
Aceh, Sabri Basyah; Ketua Umum APKASIDO, Anizar Simanjuntak; Wakil dari Petani
Kelapa Sawit, Asmar Asyad; dan moderator Ir. Dr. Jan Horas V. Purba MSI,
Sekretaris Eksekutif PASPI (Palm Oil Agribussiness Strategic Policy Institute).
(Ki-ka) Anizar Simanjuntak, Sabri Basyah, M. Sabani, Ir. Gamal Nasir, MS,
Ir. Dr. Jan Horas V. Purba MSI, Firman Subagyo, Muhibul, dan Asmar Asyad |
Bapak Firman mengatakan bahwa Indonesia
harusnya mempunyai satu great strategy
yang jelas. Jika sudah ada target terhadap produksi nasional, seharusnya tidak
ada lagi pembicaraan terkait perluasan lahan. Untuk dapat meningkatkan
produksi, mau tidak mau kita harus mengggunakan teknologi agar dapat bersaing
dengan negara lain.
Firman Subagyo |
Sawit telah memberikan kontribusi
pada pendapatan negara dengan nilai 240 triliun per tahun. Lahan Sawit yang
seluas 11 juta ha, 43% nya dimiliki oleh kelompok tani. “Untuk itu para petani
perlu dilindungi. Perlu dibuatkan regulasi dalam perdagangan internasional,
agar dapat menghadapi segala hambatan yang terkait dengan perdagangan. Di
Indonesia, posisi-posisi dari komoditi strategis ini belum dilakukan evaluasi,
dan belum dibuat sebagai regulasi terhadap pembangunan yang melindungi komoditi
strategis ini,” ungkap Firman Subagyo.
Kalimantan Timur telah menetapkan
bahwa Sawit ini merupakan salah satu strategi untuk mengantisipasi adanya
perubahan perekonomian yang sangat besar dampaknya bagi Kaltim, karena selama
ini Kaltim bergantung pada migas dan batubara. Pemprov Kaltim telah menarget
dalam 5 tahun ke depan (sampai 2018) bisa menghasilkan satu kawasan untuk
Sawit. Dari 5 juta ha area perkebunan yang non perhutanan, 2 jutanya akan
ditargetkan untuk Sawit.
“Indonesia harusnya mampu
berdaulat atas peraturan dan undang-undangnya sendiri, dan tidak dipengaruhi
oleh aturan-aturan yang didominasi oleh bangsa lain. Dengan adanya satu
peraturan yaitu IPOP ini, yang mensetting kriteria yang dapat menghambat
perkembangan Sawit-Sawit yang ada sebelumnya, dimana banyak masyarakat kecil
yang berusaha di bidang ini, tentu saja dapat menggangu konsep sistem ekonomi yang
dilakukan dengan SDA yang tidak dapat diperbarui menjadi SDA yang dapat
diperbarui. Dan pemda mendukung sepenuhnya keputusan yang diambil oleh
pemerintah pusat,” kata Bapak Sabani.
Bapak Sabri Basyah, Muhibul, dan
Anizar Simanjuntak pun memiliki pendapat yang sama dengan Bapak Sabani, yaitu
perlu adanya regulasi khusus terkait dengan Kelapa Sawit, dan mendukung
sepenuhnya keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat, agar dapat melindungi
para petani Kelapa Sawit.
Asmar Asyad |
Sedangkan Bapak Asmar yang
mewakili para petani Sawit menyampaikan pandangannya terkait Sawit. Peraturan
yang diterapkan oleh IPOP terhadap perusahaan besar yang ikut menandatangani
perjanjian ini, sangat menyengsarakan petani kecil. “IPOP ini perlu ditolak,
agar perusahaan-perusahan besar berkomitmen pada ISPO, sehingga dapat membantu
petani Kelapa Sawit yang saat ini mengalami kendala. Janganlah mau diatur oleh
pihak asing” curhat Pak Asmar.
Dari diskusi ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa Indonesia merupakan negara produsen utama dunia dalam Sawit
sejak tahun 2006. Sawit bukan semata soal ekonomi, tapi juga menyangkut soal
kedaulatan, untuk itu perlu dibuat regulasi mengenai hal ini, agar dapat
melindungi para petani Sawit. Sisi-sisi yang mendasar terhadap Sawit adalah
bahwa jika Sawit tidak ada, kemungkinan Indonesia sudah mengalami defisit sejak
beberapa tahun silam. Sawit telah membantu menyelamatkan transaksi perdagangan
kita.
Menurut pendapat saya perlu
pemberdayaan dan edukasi terhadap para petani Kelapa Sawit tentang bagaimana cara pengolahan Kelapa Sawit yang baik agar dapat menghasilkan produk Sawit dengan kualitas yang tinggi, sesuai dengan standar
internasional, sehingga perusahaan besar tidak dapat menolak TBS dari para
petani. Dengan begitu diharapkan Kelapa Sawit Indonesia dapat memiliki martabat
yang tinggi J
Referensi :
-
republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/02/17/perjanjian-ipop-menekan-petani-sawit-indonesia
1 comments
Hmmm..repot juga ya kalau regulasi itu berjalan, produksi kelapa sawit kita jadi tidak menarik bagi pasar eksport... Lalu bagaimana dengan pasar dalam negeri sendiri apakah akan terjadi over capacity jika tidak melakukan eksport..?
BalasHapus