SOS Children’s Villages, Sudah 44 Tahun Memperjuangkan Hak Anak di Indonesia

By Dewi Sulistiawaty - September 01, 2016

Mendengar kata SOS, langsung yang kepikiran adalah semacam tanda untuk meminta pertolongan, Save Our Souls! Mungkin memang itulah yang dimaksudkan oleh sebuah organisasi non profit yang kemudian mencantumkan kata SOS dalam nama organisasinya.

Siapa yang butuh pertolongan? Lalu pertolongan apa yang dilakukan oleh organisasi ini? Mungkin sebagian dari kita tidak mengetahui bahwa terdapat lebih dari 100 juta anak terlantar di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia sendiri terdata hampir 17 juta anak telah atau terancam terlantar karena kehilangan pengasuhan orangtua.


Kita bisa melihat sendiri bagaimana jumlah anak jalanan yang terus meningkat tiap tahunnya. Ada sekitar 94 ribu anak jalanan yang tersebar di kota-kota besar yang ada di Indonesia. IPEC atau ILO bahkan mencatat lebih dari 8 juta pekerja anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Yang lebih mengerikannya lagi, terdapat eksploitasi secara seksual terhadap 40 hingga 75 ribu anak di bawah umur 18 tahun. Bahkan sebagiannya ada yang diperdagangkan ke luar negeri. Duh! Save our childrens.

Kita semua tau bahwa anak adalah kunci dari masa depan bangsa. Pengasuhan yang baik dalam keluarga, berperan sangat besar dalam menentukan keberhasilan seorang anak. Dengan latar belakang inilah, SOS Children’s Villages berdiri untuk memperjuangkan hak-hak anak yang telah atau terancam kehilangan pengasuhan dari orangtuanya.

Bagi anak-anak yang telah kehilangan pengasuhan, SOS Children’s Villages Indonesia memberikan pengasuhan alternatif berbasis keluarga atau Family Based Care di delapan Desa Anak (Children’s Villages), yaitu di Lembang, Jakarta, Bali, Flores, Semarang, Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan. Hingga saat ini sudah lebih dari 1200 anak diasuh di delapan village tersebut.

SOS Children’s Villages memastikan bahwa anak-anak ini mendapatkan hak-haknya untuk dapat tumbuh dan berkembang, agar mendapatkan kasih sayang dari orangtua, mendapatkan pendidikan, perlindungan, hidup sehat dan layak, serta hak untuk bermain.

SOS menyediakan rumah, keluarga yang terdiri dari ibu, kakak dan adik, komunitas dalam bentuk SOS Villages, dan kesempatan untuk masa depan yang lebih baik. Di SOS Villages, 8 hingga 10 anak tinggal dalam 1 rumah sebagai adik kakak, yang diasuh oleh seorang ibu asuh sebagaimana keluarga pada umumnya. Di dalam 1 villages biasanya terdapat sekitar 15 rumah SOS.

Itu bagi anak yang telah kehilangan pengasuhan dari keluarganya, sedangkan untuk mencegah keterpisahan anak dengan orangtuanya, SOS Children’s Villages sedang giat-giatnya melakukan Program Penguatan Keluarga atau Family Strengthening Program di beberapa komunitas dampingan di sekitar 8 Desa Anak SOS, serta di dua lokasi lainnya yaitu di Bogor dan Yogyakarta. Hingga saat ini, Program Penguatan Keluarga sudah mengasuh sekitar 6500 anak.

SOS Children’s Villages berdiri sudah lama yaitu sejak tahun 1949 di Australia. Keberadaan SOS di sambut baik oleh dunia sehingga dengan cepat menyebar, dan saat ini sudah ada di 134 negara, termasuk di Indonesia.

Hari ini, tanggal 1 September, SOS Children’s Villages Indonesia tepat berusia 44 tahun. Perayaan 44 tahun SOS Indonesia akan dilaksanakan secara serentak di 8 SOS Children’s Villages yang ada di Indonesia. Kemarin, tepatnya tanggal 31 Agustus 2016, bertempat di Synthesis Residence Kemang, Jakarta Selatan, SOS Children’s Villages mengadakan konferensi pers yang menghadirkan Bapak Greg Hadi Nitihardjo sebagai National Director SOS Children’s Villages Indonesia, Ibu Rita Pranawati selaku Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Cathy Sharon yaitu seorang ibu dua anak dan juga seorang public figure pemerhati hak anak. Serta narasumber lain dari Komunitas Obler dan KLM yaitu Mba Oci, Mba Shinta, Mba Citra, dan Pak Gatot yang ikut dalam penggalangan dana untuk anak-anak SOS.

Bapak Hadi
Bapak Hadi sendiri mulai berkecimpung di SOS Indonesia sejak tahun 1989. “SOS ini didirikan dengan satu konsep yang begitu sederhana, namun sangat powerful. Prinsip yang begitu dasar yang dicetuskan oleh bapak pendiri, yaitu Bapak Hermann Gmeiner, yang melihat begitu banyak anak yang kehilangan orangtua dan keluarganya,” jelas Pak Hadi.

Kita tau bahwa sudah banyak perusahaan atau organisasi yang berusaha membantu anak-anak ini. Anak yang kehilangan orangtua dan keluarganya diberikan selimut, makan maupun atap untuk berteduh. Namun anak-anak yang kehilangan orangtua dan keluarga butuh lebih dari sekedar materi, mereka juga butuh kasih sayang, mereka butuh keluarga untuk tempat berlindung, teman bermain, serta tempat mengadu.

Sementara itu di luaran sana, juga ada seorang wanita, seorang ibu, yang  memiliki jiwa keibuan, namun belum diberi kesempatan untuk memiliki anak atau menjadi seorang ibu. Nah, ibu dan anak yang kehilangan pengasuhan inilah yang kemudian dipertemukan oleh SOS. Sebuah keluarga pun dibentuk. Aturan pengasuhannya menjiplak pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga alami lainnya yang ada di luaran, keluarga dengan pengasuhan yang baik. Namun tentu saja untuk menjadi seorang ibu asuh tidak cukup dengan hanya adanya kemauan saja, butuh proses yang panjang juga, perlu di seleksi dan di-training dengan baik.

Ibu Rita
“Perlindungan terhadap anak itu harus diberikan oleh orangtua dan negara, sebagai penanggung jawab utama,” kata Ibu Rita. Dari banyak hak yang dimiliki oleh anak – tercatat ada 54 hak anak yang disahkan oleh PBB – hak yang paling dasar itu adalah hak untuk mendapatkan pengasuhan yang terbaik, karena ini merupakan dasar dari semua masa tumbuh kembang anak kelak.

Anak-anak yang ada di panti asuhan, 90% diantaranya masih memiliki salah satu atau kedua orangtuanya. Ini artinya, anak-anak tersebut dipindahkan pengasuhannya karena alasan ekonomi. Jadi menurut Ibu Rita keberadaan SOS benar-benar sangat membantu dan berarti untuk anak-anak yang kehilangan pengasuhan dari orangtuanya.

Cathy Sharon
Setelah menjadi memiliki anak, Cathy baru merasakan betapa besarnya tanggung jawab untuk menjadi seorang ibu. Orangtua harus memikirkan masa depan anak-anaknya, dan mereka juga butuh kasih sayang dari orangtuanya. Apa yang didapatkan oleh anak di masa kecilnya akan mempengaruhi karakter dari anak tersebut, bagaimana anak tersebut akan bertumbuh dewasa dan menjadi seorang individu yang baik. “Dan ini hanya didapatkan oleh anak saat mereka masih kecil,” ungkap Cathy.

Perayaan SOS Children’s Villages Indonesia yang ke-44 akan diselenggarakan di Car Free Day di Jakarta dan Bandung pada tanggal 4 September 2016 nanti, dengan serangkaian acara menarik seperti musik perkusi, Kids Yoga (Jakarta), Brain Gym (Bandung), Photo Booth, dan Pawai Hak Anak bersama Komunitas Lari Obler (Oneng Berlarian) dan KLM (Komunitas Lari Malam).

Mba Oci dan Mba Citra
Sebagai bentuk dukungannya untuk SOS, Komunitas Obler dan KLM juga menyelenggarakan sebuah kampanye melalui Program Run To Care, yang sudah berlangsung sejak 1 Agustus lalu, dan berakhir pada 3 September nanti. Penggalangan dana dilakukan secara online melalui indokasih.com. Hasil penggalangan dana akan diserahkan pada SOS saat puncak perayaan tanggal 4 September 2016 nanti.

“Selain donasi dalam bentuk materi, kita juga bisa memberikan awareness pada masyarakat tentang anak dan haknya, di sepanjang jalur kita berlari,” kata Mba Oci dari Komunitas Obler.

Program penggalangan dana dengan berlari ini dilakukan oleh 44 pelari yang tergabung dalam Komunitas Obler dan KLM, untuk 44 anak di SOS Children’s Villages Bali, Semarang, dan Medan. Program kemudian akan dilanjutkan oleh Bapak Gatot Sudariyono, seorang Sahabat SOS yang berusia 55 tahun, dalam ultra marathon di Penang, Jakarta, dan Borobudur Marathon sejauh 440 km untuk mengumpulkan dana pendidikan sebesar 440 juta rupiah. Wow! 

Bapak Gatot
“Saya mulai aktif sebagai pelari sejak 5 tahun lalu, ketika berat badan saya yang biasanya 50 kg, naik jadi 85. Di situ saya merasa bahwa saya harus mengubah gaya hidup saya. Saya biasanya hanya jalan kaki, namun pada tahun 2012 saat pertama kali Bali Marathon diadakan, saya memutuskan untuk ikut full marathon. Sejak itu saya menjadi ketagihan,” jelas Pak Gatot.

Bapak Gatot pun berpikir bahwa tidak mungkin selamanya dia berlari tanpa ada tujuan. Beliau kemudian terinspirasi dengan Scott Thomson, pria asal Scotlandia, pelari dunia yang mendedikasikan setiap langkahnya untuk amal. Hingga kemudian Pak Gatot bergabung dalam Sahabat SOS.

Ada yang ingin seperti Pak Gatot? Mari mengubah dunia, dengan membantu seorang anak untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah. Bantu anak-anak Indonesia dengan cara bergabung menjadi Sahabat SOS.

Foto Bersama
Foto: Pribadi

  • Share:

You Might Also Like

2 comments