Mengapa
sawit rakyat harus diselamatkan? Apakah kondisinya saat ini sedang terancam?
Apa yang mengancamnya? Lalu langkah apa yang sebaiknya kita lakukan untuk
menyelamatkannya? Semua pertanyaan ini berkecamuk dipikiran saya. Menurut saya,
sawit ini prospeknya sangat besar. Tahu sendiri kan, apa saja manfaat sawit
jika sudah diolah nantinya. Yup,
sawit bisa diolah sebagai minyak goreng, campuran bahan bakar biodiesel, bahan
pelumas, bahan kosmetik, bahan pembuatan cat, dan banyak lagi yang lainnya.
Selain
dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, kelapa sawit mentah maupun yang sudah
dalam bentuk olahan juga diekspor ke luar negeri. Dengan begitu bisa dibayangkan
berapa besar sumbangan sawit bagi devisa negara. Hingga saat ini, sawit
termasuk salah satu penyumbang terbesar terhadap PDB Nasional. Seperti yang
saya kutip dari bisnis.com – Bapak Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian
Pertanian mengatakan bahwa di tahun 2016 lalu, sektor perkebunan memberikan
sumbangan sebesar 429 triliun rupiah terhadap PDB Nasional – jumlah yang lebih
besar dibandingkan sektor minyak dan gas, yang nilainya hanya 365 triliun
rupiah. Salah satu dari 15 komoditas hasil kebun yang menjadi peyumbang terbesar
tersebut adalah kelapa sawit.
Nah,
sebagai salah satu penyumbang PDB Nasional terbesar, mustinya sawit ini kita
jaga, dan kalau bisa kita kembangkan lagi ya, agar bisa lebih maju dan memberi
nilai tambah. Lalu sekarang apa yang menjadi ancaman terhadap sawit ini?
Informasi lengkap mengenai hal ini saya dapatkan saat menghadiri acara diskusi
APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), di Hotel Akmani Jakarta,
pada hari Jumat (26/1/18) kemarin. Hadir sebagai narasumber Bapak Asmar Arsjad,
selaku Sekjen APKASINDO, Bapak Ir. Aziz Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Bapak Mahendra Siregar, selaku Direktur
Eksekutif Council of Palm Oil Producting Countries (CPOPC), serta moderator
Bapak Dr. Ir. Didi Hajar Gunadi.
Acara
diawali dengan mendengarkan kata sambutan dari Ketua Umum DPP APKASINDO, Bapak
Anizar Simanjuntak. Sebagai informasi, saat ini APKASINDO merupakan asosiasi terbesar
di Indonesia, dengan jumlah anggota lebih dari 4 juta orang. Nah, bicara
mengenai kelapa sawit, bisa dikatakan bahwa Indonesia merupakan penghasil
kelapa sawit terbesar di dunia. Semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang
pula angin yang menerpanya. Sepertinya pepatah ini pula lah yang telah
menerjang perkelapa sawitan kita. Ada isu yang berhembus, bahwa ada negara lain
yang kurang berkenan dengan kemajuan kelapa sawit Indonesia, dan menyebarkan
isu negatif untuk menjatuhkannya. Duh :(
Bapak Anizar |
“Untuk
itulah diskusi ini kita selenggarakan, dengan mengundang narasumber yang
kompeten, yang nantinya mungkin bisa memberikan solusi dan pendapatnya untuk kelapa
sawit kita, serta isu yang saat ini sedang menerpa, sehingga persaingan bisnis
kita di luar bisa diatasi,” ungkap Bapak Anizar.
Sedangkan
Bapak Didi yang menjadi moderator pada acara ini, mengatakan bahwa kelapa sawit
bukanlah sekedar komoditi biasa. Menurut beliau ada 3 hal yang sangat pokok,
yang terkandung dalam kelapa sawit, yaitu kelapa sawit terkait dengan
pengentasan kemiskinan, kelapa sawit terkait dengan pembangunan masyarakat, dan
kelapa sawit yang terkait dengan upaya-upaya global dalam usaha mencapai
tujuan sustainable development.
Ketiga
hal pokok ini memang tidak bisa ditentang oleh negara-negara yang ‘kurang senang' dengan kemajuan
kelapa sawit Indonesia. Hal yang tentu saja tidak jadi masalah bagi mereka.
Yang jadi masalah justru adalah di dalam forum-forum terpisah, mereka selalu
mengkaitkannya dengan berbagai macam masalah dan isu sustainability, misalnya mempekerjakan anak di bawah umur, masalah gender, masalah lingkungan, dan lain
sebagainya.
Bapak
Asmar Arsjad dalam paparannya yang berjudul “Sawit adalah Rakyat”, menjelaskan
bahwa lebih dari 40 juta rakyat Indonesia memiliki pendapatan yang berasal dari sawit, dan
jumlah itu di luar jumlah petani kelapa sawit. Yang bergantung pada sawit, mulai dari
petani itu sendiri, pedagang, tenaga pabrikan, dan semua orang yang terlibat
dengan kelapa sawit. Karena itulah mengapa disebut sawit adalah rakyat.
Bpk Asmar |
“Ada
isu bahwa Uni Eropa akan melarang masuknya bahan biodiesel ke negaranya, padahal seperti yang
diketahui kita merupakan eksportir terbesar produk ini di sana. Mereka melarang
masuk bahan biodiesel, tapi mereka butuh kelapa sawitnya. Jadi kita tidak bisa
bicara dengan mereka secara vokal. Musti ada aksi. Kita ingin mendorong
pemerintah untuk melakukan aksi,” ungkap Bapak Asmar.
Dengan
begitu APKASINDO merumuskan bahwa situasi yang terjadi saat ini merupakan
ancaman bagi industri sawit Indonesia. Untuk itu APKASINDO mencoba mendorong
pemerintah, untuk melakukan langkah-langkah nyata, bukan lewat omongan
semata, namun yang butuh satu strategis khusus, sehingga bisa dilaksanakan. Misalnya
dengan tidak mengekspor CPO dan produk-produk turunannya ke Eropa, atau bisa
juga dengan cara ikut melarang produk-produk Eropa untuk masuk ke Indonesia.
Selanjutnya
Bapak Aziz Hidayat menjelaskan informasi yang benar, terkait kredibilitas ISPO.
Menurut beliau masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami tentang
ISPO. Beberapa kementerian pun dirasa masih belum cukup komitmennya untuk
mendukung ISPO. Padahal komitmen untuk ISPO ini adalah dalam rangka
meningkatkan kredibilitas ISPO. Dengan kredibilitas maka dapat mempengaruhi diterimanya
ISPO di dunia internasional.
ISPO
terlahir dari amanat undang-undang perkebunan. Dari situ sudah jelas dasar
berdirinya ISPO. Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang menerapkannya
sertifikasi Sustainable Palm Oil. Kemudian Bapak Aziz mengatakan bahwa saat ini
dari semua komoditi perkebunan yang ada, sawit merupakan satu-satunya komoditi
nomor satu di dunia. Komoditi perkebunan yang dulunya unggul, seperti kopi,
kakao, dan tebu sudah mulai mengalami penurunan. Makanya, kita tentu tidak ingin
sawit mengalami hal yang serupa dengan komoditi lainnya. Sawit musti
dipertahankan, karena sawit adalah rakyat!
Bpk Aziz |
“Sawit
merupakan tanaman anugerah dari Tuhan bagi bangsa Indonesia, untuk bangsa di
dunia. Dari pohon sawit tidak ada satupun yang terbuang. Semua bagiannya
bernilai ekonomis,” tutur Bapak Aziz.
Sawit
pun tidak luput dari berbagai black
campaign. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini adalah dengan ISPO.
Salah satu tujuan utama ISPO adalah kepatuhan, agar seluruh pelaku usaha
perkebunan patuh terhadap peraturan perundangan. Terdapat sekitar 16
undang-undang yang harus dipatuhi oleh para pelaku usaha perkebunan. Tujuan
lain dari penerapan ISPO adalah untuk meningkatkan kesadaran pengusaha kelapa
sawit untuk memperbaiki lingkungan, melaksanakan pembangunan perkebunan sustainability palm oil, serta untuk
meningkatkan daya saing palm oil
Indonesia di pasar internasional.
Kemudian,
paparan dilanjutkan oleh Bapak Mahendra Siregar, yang menjelaskan mengenai
Diplomasi Sawit Indonesia. Bapak Mahendra secara khusus membahas mengenai
persoalan yang terjadi saat ini dengan Uni Eropa. Kata kunci dari persoalan ini
adalah diskriminasi. Seperti yang kerap kita dengar, pada saat pembahasan
mengenai diskriminasi, ada yang membatasi terminologi diskriminasi itu, semata-mata dalam definisi yang terkait dengan prinsip-prinsip yang ada di
dalam WTO, yang intinya tidak melakukan pembatasan ataupun pengenaan tarif
impor, dan langkah-langkah kebijakan perdagangan yang diskriminatif. Inilah
yang disebut dengan prinsip anti diskriminasi dari WTO.
Bpk Mahendra |
Nah,
menurut Bapak Mahendra, diskriminasi yang akan dibahas pada konteks ini adalah
diskriminasi yang lebih luas dari cakupan tersebut. Ada beberapa bentuk
diskriminasi, yaitu diskriminasi seperti penjelasan di atas, yang kaitannya
dengan WTO. “WTO sendiri menetapkan tuduhan anti
dumping dari Uni Eropa, terhadap biodiesel ekspor sawit dari kita itu tidak
beralasan, dan meminta pihak Uni Eropa untuk membatalkan tuduhannya. Bahkan
pengadilan di Uni Eropa sendiri juga membatalkannya karena memang tuduhan itu tidak
terbukti,” papar Bapak Mahendra.
Bentuk
diskriminasi lainnya adalah seperti yang pernah dilakukan oleh institusi
parlemen Eropa, bahwa mereka mengeluarkan resolusi tahun lalu, dalam konteks
sawit dan deforestasi, dan dikaitkan dengan konteks WTO nya. Uni Eropa
mengatakan bahwa hal itu tidak mengikat dan tidak punya efektivitas legislasi,
dsb. Walaupun itu benar, namun seluruh pemberitaannya merupakan bentuk
diskriminasi terhadap sawit. Lalu bentuk diskriminasi lain adalah yang
dilakukan oleh berbagai studi, yang melihat bagaimana keberlanjutan sawit. Jika
bicara mengenai keberlanjutan, mustinya berlaku untuk semua komoditi, bukan
hanya sawit saja.
Bentuk
diskriminasi lainnya, yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari media
maupun LSM, dll. Belum lagi diskriminasi yang dilakukan oleh beberapa
perusahaan, yang melabeli produknya dengan tulisan ‘palm oil free’, atau ‘no palm
oil content’, yang merupakan bentuk diskriminasi dalam artian yang lebih luas
lagi. Nah, untuk masuk ke dalam sertifikasi pembuktiannya itu, diperlukan cara
bagaimana kita bisa memperkuat dan terus memperbaiki kredibilitas dari ISPO.
Kesemuanya itu, baik penguatan, perbaikan, dan peningkatan kredibilitas ISPO
tidak bisa berjalan sendiri. Yang pentingnya lagi adalah dengan meningkatkan
produktivitas petani kecil dalam program replanting.
Apa
yang disampaikan Bapak Mahendra tersebut memang betul, bahwa dari semua
kejadian yang telah lama berlangsung itu adalah sebuah diskriminasi. Saat ini
cakupan diskriminasi menjadi lebih luas lagi. Namun terkait persoalan sawit
ini, presiden Jokowi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika ada negara yang
mengecam sawit, maka itu sama saja mereka mengecam negara yang memproduksi
sawit, dan itu artinya mengecam Indonesia, dan tentu saja hal ini tidak dapat
diterima. Perkataan presiden ini sama saja artinya bahwa presiden telah pasang
badan untuk melindungi sawit kita. Tinggal bagaimana kita memperkuat lagi,
memperbaiki, dan meningkatkan kredibilitas ISPO kita. Bagaimanapun juga sawit
adalah Indonesia!
Foto-foto : Pribadi
0 comments