Zaman now, apapun bisa jadi viral. Melalui media sosial, dan dengan kekuatan ‘jempol’ netizen, segala sesuatunya bisa dibuat jadi heboh dan menjadi bahan perbicangan di jagat maya. Sayangnya, kebanyakan persoalan yang diperbincangkan dan viral tersebut adalah sesuatu yang kurang penting. Misalnya persoalan rumah tangga selebriti, perkara seleb A berantem dengan seleb B, harga pakaian yang dikenakan para seleb, hingga aksi nyeleneh yang dilakukan seseorang pun bisa jadi viral.
Andaikan saja persoalan lingkungan juga bisa viral,
dan kemudian memberikan dampak positif berupa aksi yang dilakukan oleh banyak
orang. Andaikan saja.... Namun begitulah, kenyataannya permasalahan lingkungan sepertinya
tidak termasuk dalam kategori perbincangan yang ‘seksi’ untuk diviralkan bagi
kebanyakan netizen.
Padahal persoalan lingkungan yang sangat memprihatinkan
saat ini merupakan hal yang sangat penting dan butuh perhatian semua orang,
butuh diviralkan. Bukan saja bagi lingkungan, dampak yang ditimbulkan dari
persoalan ini juga berdampak besar bagi keberlangsungan makhluk hidup yang
tinggal di dalamnya.
Mungkin kita pernah mendengar seseorang atau
perusahaan yang membahas berbagai topik mengenai kelestarian lingkungan. Namun
kebanyakan itu hanya berupa narasi, perbincangan, diskusi, atau sekedar wacana,
yang kemudian berakhir tanpa ada aksi nyata. Pun ada aksi nyatanya, kebanyakan tidak
berkelanjutan, atau hanya berlangsung sekali dua kali saja. Sehingga dampaknya kurang
begitu berpengaruh terhadap lingkungan.
Bersyukurnya, tak semua orang acuh terhadap persoalan
lingkungan ini. Masih ada segelintir orang yang peduli dan melakukan aksi nyata
untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi. Beberapa diantara mereka adalah Bapak
Sisyantoko atau yang akrab disapa Cak Toko, dan Ibu Monica Tanuhandaru. Cak
Toko aktif sebagai penggiat lingkungan hidup di daerah Jawa Timur, dan sekarang
menjabat sebagai Direktur Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (WEHASTA).
Sedangkan kepedulian Ibu Monica pada lingkungan, terutama tanaman bambu, membuatnya
tergerak untuk mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Bambu Lestari.
Sekilas tentang WEHASTA dan Yayasan Bambu Lestari
WEHASTA merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
yang bergerak di bidang lingkungan, dengan visi untuk menjadikan masyarakat
lebih peduli, sadar, dan berdaya upaya mandiri untuk melakukan kegiatan-kegiatan
lingkungan hidup secara berkelanjutan. Cak Toko mengatakan bahwa selain
mengurusi permasalahan lingkungan, mereka juga giat melakukan edukasi pada
anak-anak terkait lingkungan, serta berkolaborasi dengan para ibu untuk mengatasi
permasalahan lingkungan.
“Saya sebelum berkolaborasi, akan selalu
mengawalinya dengan aksi. Kenapa? Karena saya harus melakukan dulu aktivitas
yang kira-kira kemudian orang lain akan meniru. Supaya tidak kebalik, nanti
orang-orang pada bilang hanya banyak omong saja,” ungkap Cak Toko.
Apa yang dilakukan oleh Cak Toko mulai dari hal
yang sederhana, seperti memilah sampah di rumah dan membuat kompos di rumah. Cak
Toko menjelaskan bahwa WEHASTA memiliki program Bank Sampah yang berbasis di Surabaya.
Berhasil dengan Bank Sampah di Surabaya, Cak Toko lantas ingat dengan kampung
halamannya di Mojokerto yang ternyata Bank Sampahnya kurang terperhatikan.
Akhirnya Cak Toko giat mengembangkan Bank Sampah yang ada di Mojokerto.
Yayasan Bambu Lestari juga merupakan sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat non-profit yang bergerak di bidang peningkatan
kualitas bambu untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan,
dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Yayasan yang berbasis di Bali dan
berafiliasi dengan International Bamboo Foundation (IBF) di Amerika Serikat dan
Belanda ini juga melindungi hutan tropis dengan cara mempromosikan dan
mengangkat beragam kegiatan konservasi, dan peluang pengembangan melalui bambu.
Menurut Ibu Monica, bambu mempunyai nilai
keutamaan lingkungan, keutamaan sosial budaya, dan keutamaan ekonomi. Bagi
lingkungan, bambu merupakan jenis tanaman penyimpan air yang baik. Dalam satu
musim penghujan, satu rumpun bambu mampu menyimpan sekitar 3.000 hingga 5.000
liter air. Menurut beliau, bambu merupakan tanaman emas, dan beberapa diantaranya
dapat tumbuh di lahan kritis, di lereng, dan menstabilkan lereng sehingga tidak
mudah longsor.
Untuk nilai sosial dan budaya, pasti bangsa Indonesia
tidak asing lagi dengan tanaman bambu, karena dulu para pejuang kemerdekaan
bangsa kita pernah berjuang menggunakan bambu. Di beberapa daerah, bambu pun banyak
dimanfaatkan untuk kelengkapan hidup sehari-hari, mulai dari bangunan,
perabotan rumah, kandang ternak, pagar, hingga diolah jadi makanan.
Sedangkan untuk nilai ekonomi, bambu pun bisa
dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi berbagai barang yang bernilai ekonomi,
seperti kap lampu, keranjang bambu, berbagai miniatur, penyekat ruangan, dan
banyak lagi lainnya. Menurut Ibu Monica dengan menanam bambu, itu sama saja
dengan kita menanam air.
Gerakan Cut The Tosh, Ubah Narasi Jadi Aksi
Peluncuran Gerakan "Cut The Tosh", Ubah Narasi Jadi Aksi |
Seperti yang sebutkan di atas, banyak individu
atau perusahaan yang mewacanakan sebuah narasi terkait lingkungan, kemudian
mengimplementasikannya dalam bentuk aksi. Namun aksi atau praktik tersebut
tidak berkelanjutan, hingga aksi tersebut pun hilang begitu saja. Walaupun praktik
tersebut patut mendapatkan apresiasi, namun sangat disayangkan jika kemudian
terhenti begitu saja.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi hadirnya
gerakan “Cut The Tosh”, sebuah gerakan yang mengajak semua pihak untuk bersama-sama
mengubah narasi atau perkataan menjadi aksi nyata. Gerakan yang menciptakan
kolaborasi yang bermakna, agar dapat meningkatkan upaya, skala, serta dampak
dari praktik yang berkelanjutan, dan tentu saja dengan rencana dan target yang
terukur.
Gerakan Cut The Tosh yang diprakarsai oleh
perusahaan Multi Bintang Indonesia (MBI) ini berperan sebagai penghubung atau hub
bagi berbagai pihak yang aktif dalam melaksanakan aksi atau praktik berkelanjutan,
sehingga aksi tersebut dapat dilakukan dalam skala yang lebih besar lagi, serta
memberikan dampak langsung bagi banyak orang dan komunitas.
Ibu Ika Noviera selaku Direktur Corporate Affair
MBI mengatakan bahwa dengan adanya gerakan Cut The Tosh ini diharapkan setiap
aksi yang dilakukan dapat memberikan dampak yang besar bagi lingkungan dan kita
semua. “Yuk, kita bareng-bareng menghentikan basa-basi dan mulai mengubah narasi
menjadi aksi. Tentu saja aksi nyata yang sustainable dan bisa mandiri ke
depannya. Perjalanan kita masih panjang. Ini baru permulaan,” ujar Ibu Ika.
Beliau pun mengungkap berbagai isu yang ada di
Indonesia, seperti penebangan hutan secara sembarangan, over population
yang tinggal di daerah bantaran sungai, sampah-sampah yang mengendap di sungai,
hingga akhirnya ada sampah yang sampai ke laut, serta banyak lagi permasalahan
lingkungan lainnya. Permasalahan yang ada di sekitar kita tersebut butuh
perhatian dari kita semua, dan dampaknya akan lebih besar lagi jika ada
kolaborasi dari berbagai pihak untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Berikut rangkaian kegiatan dari gerakan Cut The
Tosh:
1. Tipple Talk
Tipple Talk merupakan sebuah diskusi
atau thought-provoking forum yang membicarakan isu seputar lingkungan,
sosial, dan responsible consumption.
2. Sustainability Competition (CTT) Incubators
CTT Incubators adalah inkubator
ide-ide keren dan inovasi terkait keberlanjutan dari mahasiswa-mahasiswa
Indonesia.
3. CTT 3 Days Summit
Dalam CTT 3 Days Summit, MBI akan
mengundang berbagai penggerak dan pendobrak yang telah berkontribusi dalam ‘meracik
Indonesia yang lebih baik’ dengan cara mereka, untuk belajar bersama, serta
berbagi best practises dalam merancang kolaborasi yang lebih berdampak.
Tak hanya mengajak semua pihak untuk “Cut The Tosh”,
MBI yang baru-baru ini menghadirkan produk minuman zero-zero alkohol, dengan pabrik
yang lokasinya terpisah dari produk terdahulunya tersebut juga mempunyai komitmen
untuk mencapai “Path to Net Zero Impact”. Hal ini sebagai bentuk
inisiatif MBI dalam pelestarian lingkungan. Targetnya di tahun 2025, MBI sudah 100%
menggunakan energi terbarukan, dengan menerapkan pemanfaatan biomassa dan
tenaga surya. Fyi, di bulan Mei 2022 ini, MBI sudah mencapai target
sekitar 28% penggunaan energi terbarukan dari total konsumsi energi di fasilitas
produksinya.
Untuk mendapatkan energi terbarukan tersebut, MBI menggunakan
sekam padi yang diperoleh dengan cara bekerja sama dengan sekitar 700 petani. Setiap
bulannya, sekitar 30 ton sekam padi diproses di dalam fasilitas biomassa, dan menghasilkan
energi yang digunakan untuk produksi. MBI optimis di 2025 nanti sudah dapat
mencapai 100% penggunaan energi terbarukan untuk semua produksinya.
“Walau apa yang kita lakukan itu seperti setetes air di samudera. Namun kami
percaya, jika semua orang melakukan bagiannya, maka setetes air tersebut dapat
menjadi sebuah gelombang yang sangat besar.”
(Ibu Fainta Negoro)
Kalimat di atas dilontarkan oleh Ibu Fainta Negoro
dalam acara peluncuran gerakan “Cut The Tosh” di Cohive D.Lab, Menteng, Jakarta
Pusat, yang diselenggarakan pada hari Rabu, 18 Mei 2022. Beliau merupakan
Sustainability and Partnership Lead MBI, dan lebih dari 5 tahun ini telah menghabiskan
waktunya sebagai aktivis lingkungan, serta bergabung dengan berbagai NGO,
seperti International Fund for Agriculture Development, ChildFund
International, dan beberapa organisasi PBB lainnya. Hingga saat ini Ibu Fainta
masih aktif bekerja secara sukarela untuk berbagai organisasi non-profit.
(Kiri-kanan) Swietenia (Moderator), Ibu Monica, Cak Toko, Ibu Ika, dan Ibu Fainta |
Dalam presentasinya, Ibu Fainta menceritakan beberapa
mimpi MBI, diantaranya ingin bisa berkontribusi dengan tidak meninggalkan jejak
negatif bagi bumi, menciptakan dan serius berkomitmen untuk lingkungan yang inklusif,
berkeadilan, dan berkesetaraan, serta memastikan setiap konsumen dapat
mengonsumsi produk MBI dengan bertanggung jawab. Walau diakui oleh Ibu Fainta
bahwa mimpi ini masih belum sepenuhnya terwujud.
Ibu Fainta juga turut menyampaikan Sustainability
Report 2021, yang berpayung pada 3 pilar utama, yaitu Lingkungan, Sosial, dan
Konsumsi. Dengan laporan yang mengusung tema “Embracing Differences, Brewing
Togetherness” tersebut MBI berharap setiap pihak dari berbagai sektor yang
berbeda dapat menciptakan kolaborasi yang bermakna, dan menghasilkan manfaat
bagi banyak orang, dengan mengesampingkan kepentingan dan ambisi masing-masing,
serta memandang perbedaan sebagai perspektif baru yang saling memperkaya.
Untuk itu MBI bekerja sama dengan berbagai pihak,
termasuk dengan WEHASTA dan Yayasan Bambu Lestari. MBI mendukung program Bank
Sampah dari WEHASTA, khususnya sampah-sampah yang terdapat di sungai. Sedangkan
dengan Yayasan Bambu Lestari, MBI bekerja sama dalam melakukan pembibitan
bambu. Hingga saat ini sudah ada lebih dari 47 ribu bibit bambu, dan 5 ribunya
sudah ditanam di lahan seluas lebih dari 35 hektar.
Jika bicara tentang permasalahan lingkungan, bukan
hanya bicara tentang rasa peduli semata tanpa aksi, atau aksi tak bermakna, namun
menjadi tanggung jawab kita semua, semua pihak untuk beraksi bersama. Mari
berkolaborasi dan viralkan permasalahan ini agar setiap insan tergerak untuk
melakukan perubahan yang nyata, dengan aksi yang berkelanjutan, untuk bumi yang
sehat dan lingkungan yang lebih baik lagi. Yuk, Cut The Tosh, Ubah Narasi
Jadi Aksi!
0 comments