Dukung Anak Disabilitas dan Kusta untuk Mengenyam Pendidikan di Sekolah Reguler
Kesehatan dan pendidikan, adalah dua hal yang menjadi perhatian utama bagi mendiang orang tua saya. Untuk kedua hal tersebut, mama mau merogoh kocek berapapun, tanpa pikir panjang, selama itu baik menurut mama. Sedangkan untuk hal yang menurut mama nggak penting, mama nggak ‘kan mau mengeluarkan uangnya sedikit pun, walaupun anak-anaknya merengek dan guling-gulingan di lantai, hihi. Saya sempat berpikir kalau mama itu orangnya pelit, dulu. Maafkan anakmu ini ya, Ma. Al-Fatihah buat mama dan papa.
Setelah dewasa barulah saya mengerti mengapa mama
berbuat seperti itu. Mama mendidik kami anak-anaknya untuk bisa memprioritaskan
apa yang benar-benar dibutuhkan, dan mana yang hanya keinginan saja. Begitulah cara mama mengatur keuangan keluarga. Apalagi saya termasuk keluarga besar,
dengan jumlah saudara sembilan orang. Tentu mama mesti ekstra hati-hati dalam mengatur
keuangan. Didikan orang tua, terutama mama yang full di rumah merawat
anak-anaknya ini terbawa pada beberapa anaknya, termasuk saya.
Seperti masalah pendidikan untuk anak, saya akan memberikan
dukungan penuh, karena saya tahu, selain kesehatan, pendidikan juga merupakan
hal yang sangat penting bagi masa depan anak, dan juga bangsa ini. Namun sayangnya,
tak semua anak beruntung bisa mengenyam pendidikan, terutama pendidikan formal
atau reguler, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan program wajib belajar
secara gratis selama 12 tahun bagi seluruh anak Indonesia.
Mereka adalah anak-anak dengan kebutuhan khusus atau penyandang disabilitas dan anak-anak yang menderita kusta. Sayangnya, stigma yang melekat pada anak
atau orang yang menderita kusta sangat kuat pada masyarakat kita. Banyak yang
menunjukkan perilaku diskriminasi pada penderita kusta. Jangan kan di lingkungan
sekolah, di lingkungan masyarakat sekitarnya juga sering terjadi pengucilan
terhadap penderita kusta.
Kusta dianggap penyakit kutukan, menakutkan, yang
dapat menular dan tidak bisa disembuhkan. Mirisnya, mereka ada yang diusir dari
rumah, komunitas, dan kemudian hidup mengemis. Padahal penyakit ini tidak mudah
menular dan bisa disembuhkan. Penderitanya juga butuh dukungan dan dorongan
dari orang sekitarnya agar mentalnya tidak down dan bisa semangat untuk sembuh. Bayangkan jika penyakit ini menimpa anak-anak, tentu mereka tak akan
bisa mengenyam pendidikan yang layak di usia belianya.
Berdasarkan data Kemenkes per tanggal 13 Januari
2021, kasus kusta pada anak mencapai angka 9,14%, dan per tanggal 24 Januari 2022, jumlah
kasus kusta yang terdaftar di Indonesia mencapai angka 13.487 kasus, dengan penemuan kasus
baru sebanyak 7.146 kasus. Bahkan berdasarkan data WHO tahun 2020, Indonesia berada
di peringkat ketiga sebagai negara dengan penyumbang kasus kusta 3 terbesar di
dunia. Sedih banget dengar informasi ini ☹
Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah
ungkapan yang tepat bagi penderita kusta. Sudahlah menahan sakit fisik karena
penyakit yang diderita, efek yang nantinya kemungkinan mereka tanggung seperti kelumpuhan
atau disabilitas, masih pula terkena mentalnya karena mengalami diskriminasi
dari orang sekitarnya. Tak hanya dikucilkan, tak jarang dari mereka yang juga mengalami tindakan kekerasan, baik dari lingkungan pendidikan hingga lingkungan
sosialnya.
Sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan peraturan,
yaitu PP No. 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang layak untuk Peserta Didik
Penyandang Disabilitas. Dalam aturan tersebut, peserta didik penyandang
disabilitas mendapat jaminan fasilitas pendidikan yang berlaku di semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan, baik inklusif maupun khusus. Namun dalam
kenyataannya, masih sedikit penyandang disabilitas yang mendapatkan aksesibilitas
pendidikan tersebut. Entah karena kuota yang kurang dari sekolah (mungkin karena
fasilitas berupa sarana dan SDM yang dirasa masih minim), orang tua yang kurang pede
mendaftarkan anaknya, atau anak itu sendiri yang kurang bersemangat untuk
bersekolah di sekolah umum.
Makanya ketika mendengar ada sekolah yang menampung
cukup banyak anak disabilitas dan kusta di sekolah tersebut, saya merasa senang sekaligus terharu. Sekolah tersebut adalah SD Negeri Rangga Watu, Manggarai Barat, Nusa Tenggara
Timur. Informasi ini saya dapatkan saat menonton tayangan Live Channel YouTube
Berita KBR pagi ini, hari Jumat, 21 Oktober 2022. Kebetulan pada acara talkshow
Ruang Publik KBR tersebut mengangkat tema tentang Pendidikan Bagi Anak dengan
Disabilitas dan Kusta.
Pada acara bincang-bincang tersebut hadir tiga
orang nasasumber, yaitu Bapak Anselmus Gabies Kartono dari Yayasan Kita Juga
(Sankita); Bapak Fransiskus Borgias Patut S.Pd selaku Kepala Sekolah SD Negeri
Rangga Watu, Manggarai Barat; dan Ignas Carly, seorang siswa SD Negeri Rangga Watu,
Manggarai Barat yang saat ini duduk di bangku kelas 5.
Talkshow Ruang Publik KBR dengan tema
"Pendidikan Bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta"
(kiri atas: Mas Rizal, kanan atas: Bpk Frans, kiri bawah: Ignas, kanan bawah: Bpk Ansel)
Di awal, Bapak Frans selaku Kepala Sekolah SDN
Rangga Watu menjelaskan mengapa sekolah yang dipimpinnya terbuka dan menerima
peserta didik yang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Menurut beliau, ini mengacu
pada Pasal 31 ayat 1 UUD Dasar 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran. Selain itu, di daerah Manggarai Barat juga masih minim sekolah
untuk anak berkebutuhan khusus.
Padahal hampir di tiap daerah yang ada di Manggarai
Barat terdapat anak disabilitas di kategori usia sekolah. Belum lagi jarak tempuh
dari rumah ke sekolah yang cukup jauh. Beberapa alasan inilah yang akhirnya melatarbelakangi
pihak SDN Rangga Watu untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif, dan menerima
peserta didik berkebutuhan khusus. Saat ini, SDN Rangga Watu, Manggarai Barat sudah
menampung 7 orang peserta didik yang berkebutuhan khusus, dan salah satunya
adalah Ignas.
Fyi, program pendidikan
inklusif di SDN Rangga Watu sudah diselenggarakan sejak tahun 2017. Penyelenggaraannya
sendiri tak lepas dari dorongan dan motivasi yang diberikan oleh Sankita. Sankita
sendiri merupakan sebuah organisasi sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan
penyandangan disabilitas di Kabupaten Manggarai Barat. Menurut Pak Ansel,
Sankita memang sedang giat mengkampanyekan penyelenggarakan pendidikan inklusif
di sekolah-sekolah.
“Banyak hal yang kita temukan saat berkunjung ke
desa-desa pendampingan kita. Banyak anak berkebutuhan khusus yang putus
sekolah, yang tidak mau sekolah, bahkan ada anak disabilitas yang masih usia
sekolah yang tidak didaftarkan oleh orang tua atau keluarganya untuk bersekolah,”
ujar Pak Ansel.
Selain itu, menurut Pak Ansel, masih banyak juga sekolah
yang belum memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung pembelajaran bagi
anak-anak berkebutuhan khusus atau disabilitas, baik itu dari kesiapan gurunya,
maupun sarana dan prasarananya. Hal inilah yang kemudian mendorong Sankita untuk
terus mengkampanyekan pendidikan inklusif, khususnya di daerah Manggarai Barat.
Di SDN Rangga Watu, Manggarai Barat, Sankita melakukan
sosialisasi, memberikan pelatihan dan bimbingan khusus untuk meningkatkan
kapasitas para gurunya, agar dapat menangani peserta didik yang berkebutuhan
khusus, demi mewujudkan terciptanya pendidikan inklusif di sekolah-sekolah
reguler.
Ignas sendiri walaupun menjawab pertanyaan dari
host Ruang Publik KBR, yaitu Mas Rizal dengan jawaban-jawaban singkat, namun
ternyata memiliki semangat belajar yang tinggi untuk bersekolah. Semangat ini
sepertinya ditularkan dari orang tuanya yang telah mendaftarkan Ignas agar bisa
bersekolah di sekolah reguler, sehingga bisa mengenyam pendidikan yang sama
dengan teman-teman sebayanya.
Dalam bincang-bincang tersebut Ignas mengaku tak
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan teman
sekolahnya. Buktinya ia memiliki banyak kawan di sekolah. Anak berkebutuhan khusus
yang bersekolah di SDN Rangga Watu ini bahkan bisa menikmati waktu bermainnya,
seperti sepak bola dan bola voli bersama teman-teman sekolahnya. Ia tak peduli
dan tidak begitu menanggapi jika ada temen yang meledeknya. Semangat terus ya,
Ignas! Kamu hebat!
Bapak Frans mengaku, dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusif di sekolah reguler, seperti SDN Rangga Watu masih ditemui beberapa
kendala, diantaranya sumber daya manusia, seperti tenaga pengajar atau pembimbing
khusus untuk anak-anak disabilitas. Bagaimanapun juga anak-anak disabilitas ini
butuh penanganan khusus dalam proses pembelajarannya. Sementara tenaga pengajar
yang ada hanya memiliki skill sebagai tenaga pendidik umum. Beliau pun
berharap agar pemerintah dapat membuka kesempatan atau lowongan bagi para
sarjana tamatan pendidikan khusus, agar dapat mengabdikan dirinya pada sekolah
negeri.
Kita semua setuju bahwa semua anak berhak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Semua anak memiliki kesempatan yang sama,
termasuk anak dengan disabilitas dan kusta untuk mengenyam bangku sekolah. Dukungan
kita akan menjadi penyemangat bagi mereka untuk terus bersekolah hingga
menempuh pendidikan tinggi. Tak perlu bantuan yang besar, cukup dengan dukungan
sosial, tidak mendiskriminasikan dan mengucilkan anak-anak disabilitas dan kusta
saja sudah menjadi bentuk partisipasi besar kita dalam mendukung masa depan
mereka.
0 comments