Si Penjaga Hutan Merabu Itu Bernama Franly
Hutan merupakan paru-paru dunia. Kamu pasti sering mendengar kalimat ini. Lalu apakah kamu mengerti mengapa hutan disebut sebagai paru-paru dunia? Ini karena umumnya hutan memiliki banyak pepohonan atau tanaman yang tentunya akan menjadi penghasil oksigen terbesar yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan makhluk hidup. Selain itu, tanaman-tanaman ini juga berfungsi sebagai penyerap emisi karbon, dan membersihkan udara di sekitarnya.
Jadi karena cara kerjanya yang seperti
paru-paru, makanya hutan pun dijuluki sebagai paru-paru dunia. Walaupun sebenarnya
cara kerjanya kebalikan dari paru-paru manusia, karena kita sendiri menghirup
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Sementara hutan (tanaman) menyerap
karbondioksida dan mengeluarkan oksigen.
Selain itu hutan juga menjadi rumah
atau tempat tinggal bagi beragam tumbuhan dan juga satwa liar. Di hutan hujan tropis
bahkan terdapat ratusan ribu spesies hewan dan tumbuhan. Ini karena iklim di
hutan hujan tropis yang mendukung bagi tanaman dan satwa liar ini untuk
berkembangbiak, seperti tanahnya yang subur, sinar matahari dan air yang
melimpah, serta tersedianya berbagai sumber makanan. Struktur pepohonan yang
berbentuk seperti kanopi pun menjadi tempat berlindung, bersembunyi, dan
berinteraksi bagi beberapa satwa liar yang hidup di hutan.
Beragam tumbuhan dan juga satwa liar yang hidup di hutan hujan tropis |
Makanya penting bagi kita untuk menjaga
hutan agar tetap lestari, karena tak hanya berpengaruh pada makhluk hidup yang menjadi
penghuni bumi, namun juga bagi lingkungan dan bumi itu sendiri. Sebut saja beberapa
contohnya, seperti tanah longsor, banjir, kekeringan dan rusaknya struktur tanah,
serta kerusakan lingkungan lainnya.
Nah, beberapa tahun belakangan ini
ramai pemberitaan mengenai perubahan iklim dan cuaca ekstrim yang terjadi di berbagai
wilayah di belahan bumi. Bahkan Sekjen PBB, Antonio Guterres menyebutkan bahwa
dunia tidak lagi mengalami pemanasan global, namun sudah masuk ke era
pendidihan global (global boiling). Mungkin hal ini juga dapat kita rasakan
sendiri. Seperti cuaca panas, ditambah lagi dengan polusi yang melanda Kota
Jakarta. Kondisi ini makin diperparah dengan tidak turunnya hujan dalam beberapa
bulan belakangan.
Gelombang panas ekstrim yang terjadi bahkan
menimbulkan korban jiwa. Selain itu, menurut berita, es di kutub pun mulai
mencair. Suhu di Kawasan Arktik tersebut mengalami pemanasan dua kali lebih
cepat dari bagian dunia lainnya. Menurut para ahli, Arktik selama ini dianggap
sebagai pendingin bumi, dan sangat berperan dalam mengatur suhu global. Cairnya
es di wilayah kutub tak saja mempengaruhi habitat dan populasi hewan yang hidup
di sana, namun juga dapat menyebabkan perubahan tatanan cuaca di seluruh dunia.
Ancaman pemanasan global mulai melanda bumi |
Krisis iklim dan ancaman pemanasan
global yang melanda planet bumi ini mestinya menjadi perhatian seluruh penduduk
di penjuru dunia, dan harus segera diatasi secepatnya. Jika tidak, tentu ini
akan membahayakan kehidupan seluruh makhluk yang berdiam di dalamnya. Hutan,
dengan pepohonan hijaunya pun menjadi salah satu solusi untuk menangani
perubahan iklim tersebut. Hal ini sering dibahas dalam berbagai forum atau
pertemuan internasional yang mendiskusikan tentang perubahan iklim global yang
melanda seluruh dunia.
Namun tak semua negara memiliki hutan hujan,
dan bisa ditumbuhi oleh pepohonan hijau yang bisa hidup di sepanjang musim. Beberapa negara di dunia yang beruntung memiliki
hutan hujan terluas diantaranya adalah Brasil dengan hutan Amazonnya, hutan luas
di Cekungan Kongo di benua Afrika, dan Indonesia. Walaupun bukan yang terluas
di dunia, namun luas hutan Indonesia yang mencapai 92 juta hektar ini tentunya
sangat berperan dalam menyerap emisi karbon yang menjadi persoalan iklim global.
Peran Hutan Indonesia
Dalam Mengatasi Perubahan Iklim Global
Hutan Indonesia memiliki peranan penting dalam pengendalian iklim global |
Setelah Papua dengan luas hutan sekitar
40,5 juta hektar, hutan terluas lainnya di Indonesia terdapat di Kalimantan,
dengan Kalimantan Timur seluas sekitar 14,6 juta hektar, Kalimantan Tengah
sekitar 11 juta hektar, dan hutan di Kalimantan Barat seluas 8,3 juta hektar. Hutan
hujan tropis yang ada di Kalimantan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,
termasuk masyarakat adat yang mendiami hutan tersebut.
Namun sayang, setiap tahunnya total luas
hutan di Kalimantan terus mengalami penurunan. Ini karena maraknya deforestasi,
penebangan pohon secara liar, dan pembukaan lahan. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut,
bisa diprediksi hutan di Kalimantan akan hilang. Bayangkan bagaimana nasib satwa
dan keanekaragaman hayati lainnya yang hidup di dalamnya. Selain itu, bencana
alam seperti banjir pun bisa terjadi, karena tak ada lagi tanah yang berfungsi sebagai
serapan air.
Sebagai bagian dari masyarakat dan
bangsa di dunia, Indonesia menyadari bahwa hutan Indonesia memiliki peranan yang
sangat penting dalam perubahan iklim global. Berbagai upaya terus dilakukan
pemerintah Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim, seperti membentuk Badan
Restorasi Gambut di tahun 2016, melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada
hutan primer dan lahan gambut, serta melibatkan peran serta masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aksi terkait iklim.
Franly, Si Penjaga Hutan Merabu |
Franly Aprilano Oley, Kepala Kampung Merabu, yang terletak di pedalaman Berau, Kalimantan Timur, yang kemudian tergerak untuk menjaga dan melestarikan hutan yang ada di kampungnya. Kampung Merabu sendiri memiliki luas sekitar 22 ribu hektar, dan sekitar setengah bagiannya merupakan kawasan hutan dan pegunungan karst.
Di awal ia menjabat sebagai Kepala
Kampung Merabu, yakni di tahun 2012, Franly yang saat itu masih berusia 23
tahun pernah mengusulkan agar hutan Merabu menjadi hutan lindung desa. Ia gigih
memperjuangkan agar hak pengelolaan hutan Merabu diberikan pada warga Merabu. Baru
di tahun 2014, usulannya tersebut terwujud, dan sekarang hutan Merabu berganti status
sebagai hutan adat yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang
berada di bawah Badan Usaha Milik Kampung (BUMK).
Warga Kampung Merabu pun dapat
memanfaatkan hasil hutan, seperti madu hutan, sarang burung walet, rotan,
hingga usaha ekowisata. Namun untuk menjaga agar hutan tetap lestari, warga
kampung dan masyarakat luar lainnya tidak diperbolehkan menebang pohon dan
mengambil kayu di hutan Merabu.
Selain menjaga kelestarian hutan
Merabu, pemuda kelahiran Manado yang menikah dengan gadis asli dari Kampung
Merabu tersebut juga memikirkan bagaimana caranya memajukan kampungnya. Selama
ini, Kampung Merabu yang terletak di pedalaman hutan Kalimantan Timur ini
identik dengan ketertinggalan, kebodohan, dan juga kemiskinan. Nama kampungnya tidak begitu dikenal. Bahkan jika dicari di mesin pencari seperti Google pun
tak ditemukan nama Kampung Merabu. Menyedihkan ya :’(
Mengenal Danau
Nyadeng dan Gua Beloyot, Wisata Alam Hidden Gem di Tengah Hutan Merabu
Kalimantan
Salah satu langkah yang dilakukan Franly
adalah dengan memanfaatkan Danau Nyadeng dan Gua Beloyot yang ada di tengah
hutan Merabu sebagai tempat pariwisata. Danau Nyadeng yang terletak di kawasan pegunungan
karst memiliki luas sekitar 3 ribu meter persegi. Danau dengan air yang jernih
berwarna hijau toska ini dikelilingi hutan yang indah dengan latar belakang
dinding karst, dan gua-gua di sekitarnya. Wisatawan pun diperbolehkan untuk berenang
di danau, dan berkemah di sekitar danau.
Danau Nyadeng di tengah hutan Merabu |
Untuk bisa sampai ke Danau Nyadeng,
wisatawan harus menyusuri Sungai Lesan menggunakan perahu ketinting. Perjalanan
selama 20 menit menuju danau bisa dimanfaatkan wisatawan untuk menikmati
pemandangan indah yang tersaji di sepanjang sungai, seperti burung, monyet, dan
satwa liar lainnya. Setibanya di danau, wisawatan juga bisa memanfaatkan berbagai
fasilitas umum yang disediakan, seperti kamar mandi umum, gazebo, penyewaan
alat-alat, dan lain sebagainya.
Gua Beloyot atau Bloyot sendiri merupakan
salah satu gua yang terdapat di tengah hutan Kampung Merabu. Gua ini menjadi
istimewa karena didalamnya ditemukan berbagai benda prasejarah, seperti fragmen
tulang binatang, cangkang moluska, serta gambar-gambar cadas di sepanjang
dinding gua, seperti gambar cap tangan, kura-kura, menjangan, dan babi.
Gua Beloyot, situs cagar budaya di hutan Merabu |
Jejak peninggalan prasejarah di Gua Beloyot yang berada di hutan Kampung Merabu |
Data arkeologi yang terdapat pada Gua
Bloyot ini diperkirakan sudah berusia sekitar 4 ribu hingga 10 ribu tahun. Keberadaan
Gua Bloyot dan temuan di dalamnya menjadi aset berharga bagi peradaban manusia,
sehingga dijadikan sebagai situs cagar budaya yang harus dijaga dengan baik.
Untuk bisa sampai ke Gua Bloyot, wisatawan harus menyusuri hutan dengan cara berjalan
kaki sepanjang 4 km atau sekitar 3 jam dari Kampung Merabu.
Keindahan wisata alam yang ada di Merabu ini akhirnya mulai dikenal banyak orang, dan menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang berkunjung, baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara. Franly yang kemudian juga menjabat sebagai Sekretaris BUMK mengaku bahwa wisata alam ini memberikan dampak yang sangat besar bagi Kampung Merabu.
Kampung Merabu kini menjadi desa ekowisata berbasis kerakyatan |
Kampung Merabu sekarang dikenal sebagai
desa ekowisata. Upaya Franly dalam pelestarian hutan, didukung dengan kearifan
lokal, serta ekowisata berbasis kerakyatan mendapat dukungan penuh dari
Pemerintah Kabupaten Berau. Apalagi kegiatan pariwisata yang mulai berkembang ini
memberikan dampak positif terhadap kehidupan sosial dan juga perekonomian
warganya. Mungkin ini pepatah yang tepat untuk upaya yang telah dilakukan
Franly, yakni “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
Si Penjaga
Hutan Merabu Itu Raih Apresiasi SATU Indonesia Awards
Upaya Franly dalam menjaga dan
melestarikan hutan Merabu serta keberagaman hayati yang terdapat di dalamnya
memang patut mendapatkan acungan jempol. Di tengah gempuran arus globalisasi
dan gaya hidup modern, masih ada individu yang berupaya mengikuti riaknya
sambil tetap menjaga agar alam terus lestari. Bahkan pengurus Kampung Merabu
sengaja tidak melakukan pembangunan fasilitas yang memudahkan wisatawan, yang
nantinya bisa berpotensi merusak keasrian alam yang ada di hutan Merabu.
Banyak penghargaan yang telah diterima
Franly berkat kegigihannya dalam memperjuangkan kelestarian hutan Merabu, serta
menyulap kampungnya menjadi desa wisata agar warganya makmur, namun dengan
tidak mencederai kelestarian hayati yang terdapat di dalamnya. Salah satu penghargaan
yang diterimanya berasal dari Grup Astra, dalam bentuk apresiasi SATU Indonesia
Awards 2018. Ia berhasil meraih penghargaan di bidang Lingkungan.
Franly berhasil menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2018 |
SATU Indonesia Awards merupakan salah
satu program yang digelar oleh Grup Astra sejak tahun 2010. Program ini bertujuan
untuk memberikan apresiasi kepada generasi muda, baik individu maupun kelompok,
yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat
sekitarnya, baik di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan,
dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili kelima bidang
tersebut.
Semangat Franly untuk terus konsisten
menjaga hutan Merabu sejalan dengan semangat Astra untuk berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui karsa, cipta, dan karya
terpadu untuk memberikan nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sebagai
bentuk komitmennya dalam membawa Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU
Indonesia), maka tahun ini Astra kembali menggelar apresiasi 14th SATU
Indonesia Awards 2023, dengan mengusung tema “Semangat Untuk Hari Ini dan
Masa Depan Indonesia”.
Semoga semangat Astra dan juga Franly
bisa menular pada generasi muda lainnya, sehingga mereka mampu berkarya, berperan
aktif, dan memberikan kontribusi nyatanya terhadap kesejahteraan masyarakat, kemajuan
bangsa, dan juga menjaga kelestarian bumi. Aamiin.
Referensi:
Sumber data dan gambar: E-Booklet Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023, kumparan.com, ykan.or.id, mongabay.co.id, kebudayaan.kemendikbud.go.id, jawapos.com, bola.com, dan akun facebook @kampungmerabu.
0 comments