Manfaatkan Maggot untuk Atasi Permasalahan Sampah
Jika ada yang belum mengetahui apa itu maggot, dan karena penasaran mencarinya di mesin pencari, pasti akan menemukan gambar belatung di sana. Kamu lalu akan mengernyitkan wajah, karena jijik. Yup, seperti kecoa, belatung ini masuk dalam golongan serangga menjijikkan bagi sebagian besar orang. Tak hanya karena bentuknya, namun juga karena hidupnya di tempat yang jorok, seperti tempat sampah, kotoran hewan, bangkai, dan makanan yang sudah membusuk lainnya.
Belatung ini berasal dari larva lalat
hijau atau sering juga disebut lalat rumahan, karena hidupnya di lingkungan
perumahan. Lalat hijau yang hinggap pada sampah atau makanan akan bertelur di
atasnya. Lalu telur ini lalu akan menetas, dan berubah menjadi larva atau belatung.
Belatung ini berkembang biak dengan cepat, dan bermetamorfosis menjadi kepompong.
Dalam waktu 3-5 hari, kepompong ini akan berubah menjadi lalat hijau.
Lalat hijau ini tergolong hama, karena
hidupnya di tempat yang kotor, sehingga ia akan membawa pathogen pada bagian
tubuhnya. Saat hinggap pada makanan, pathogen ini akan mengontaminasi dan
memindahkan penyakit pada makanan tersebut. Makanya serangga satu ini sangat
dihindari, bahkan dimusuhi oleh manusia, karena dapat menularkan bakteri, dan
menyebarkan penyakit.
Lalu bagaimana dengan maggot? Walaupun sama-sama
masuk ke dalam jenis belatung, namun maggot berasal dari lalat yang berbeda.
Larva maggot berasal dari lalat Black Soldier Fly (BSF), yang banyak ditemukan
di Amerika Serikat, Eropa, Semanjung Iberia, Swiss, Pantai Laut Hitam Rusia,
Afrika Utara dan Selatan, hingga Alam Indomalaya. Lalaf BSF memiliki antibiotik
alami, sehingga tidak membawa kuman penyakit dalam tubuhnya. Walaupun sama-sama
rakus seperti belatung, namun maggot umumnya hanya memakan makanan sisa-sisa organik
yang membusuk.
Dari segi fisik, ukuran maggot sedikit
lebih panjang dari belatung, dan berwarna gelap, bahkan menyerupai tawon. Maggot
pun memiliki sistem pencernaan yang lemah, sehingga sering mengeluarkan cairan
yang mengandung enzim pencernaan yang akan membantunya untuk melarutkan
makanan. Namun begitu, ternyata tubuh maggot mengandung protein yang cukup
tinggi, lho. Sehingga banyak yang memanfaatkan maggot sebagai bahan dasar untuk
pakan ternak.
Selain itu, maggot juga memiliki
kemampuan menguraikan sampah organik, dan menghasilkan pupuk kompos, karena
dalam usus maggot terdapat bakteri selulotik penghasil enzim selulase, sehingga
tubuhnya mampu menguraikan sampah organik tersebut. Dengan kebermanfaatan yang
bisa diperoleh dari maggot ini, tak heran jika saat ini lalat BSF mulai dikembangbiakkan
di Indonesia. Karena kandungan gizinya yang tinggi, masyarakat Indonesia umumnya
memanfaatkan maggot sebagai bahan dasar untuk pembuatan pakan ternak, seperti unggas
dan ikan.
Maggot Pengurai Sampah
Maggot, si pengurai sampah organik |
Seperti yang dijelaskan di atas, maggot
ini merupakan larva lalat yang rakus. Dalam waktu 24 jam, ia mampu memakan
sampah organik 2 hingga 5 kali bobot tubuhnya. Jadi jika dihitung-hitung, 1kg
maggot, mampu menguraikan 2 hingga 5kg sampah organik tiap harinya. Tentunya
maggot sangat berpotensi jika dimanfaatkan sebagai pengurai sampah. Pengembangbiakan
maggot pun termasuk aktivitas yang ramah lingkungan, karena larva satu ini bukanlah
sejenis hama.
Namun sayang, tak semua orang
mengetahui, pun mengetahui, mau menggunakan maggot ini, dan memanfaatkannya untuk
mengubah sampah organik, hingga menghasilkan pupuk kompos, yang tentu bisa digunakan
juga sebagai pupuk tanaman. Padahal sampah ini bukan hanya masalah pribadi dan
sekelompok orang, namun sudah menjadi masalah nasional, bahkan dunia. Selagi
masih ada manusia yang beraktivitas, maka timbulan sampah akan selalu ada, dan
itu akan meningkat seiring dengan semakin berkembangnya jumlah penduduk.
Dari sekian banyak solusi untuk
mengatasi sampah, maka maggot dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif
solusi, yang bahkan berpotensi memiliki nilai ekonomi yang tinggi juga. Untuk
mengembangbiakkan maggot pun terbilang mudah, karena ia bisa berkembangbiak
secara alami di alam. Kita tinggal menyiapkan media bersih yang mengandung fermentasi,
karena aroma ini disukai oleh lalat BSF.
Dalam sekali bertelur, satu indukan lalat
BSF mampu menghasilkan 400 hingga 800 telur. Nanti tinggal menunggu telur-telur
ini menetas hingga menjadi maggot. Jika sudah berubah jadi maggot, barulah
diberikan sampah-sampah organik sebagai makanannya. Sampah-sampah ini akan dimakan
dan diuraikan maggot jadi kompos. Beberapa hari kemudian maggot pun akan berubah
menjadi lalat BSF, dan siklusnya akan berputar terus seperti itu.
Arky Gilang Wahab budidayakan maggot untuk mengatasi masalah sampah di desanya |
Adalah Arky Gilang Wahab, seorang
pemuda kelahiran Banyumas, Jawa Tengah yang kemudian tertarik untuk
membudidayakan maggot. Ketertarikannya membudidayakan maggot muncul saat ia
pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan studinya di Teknik Geodesi
Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2018. Sesampainya di desa, ia pun
mendapati bahwa Banyumas ternyata sedang dilanda krisis sampah saat itu.
Mengerti bahwa maggot bisa dimanfaatkan
untuk mengatasi masalah sampah di daerahnya, Arky pun mulai membudidayakan
maggot. Tentu saja idenya ini tak ujug-ujug terlaksana dengan mulus begitu
saja. Awalnya usaha budidaya maggot ia rintis bersama dengan adik dan salah
seorang temannya. Mereka memulai usaha tersebut dari rumah masing-masing. Lambat
laun usaha mereka pun mendapat perhatian dari warga sekitar. Banyak dari mereka
yang mulai ikut mengumpulkan sampah organik juga. Dalam kurun waktu satu tahun,
Arky mampu mengelola seluruh sampah organik yang ada di desanya, Desa
Banjaranyar.
Seiring waktu, maggot yang mereka
budidayakan terus berkembang. Tentunya sampah organik yang bisa diolah pun kian
meningkat. Aktivitas mereka pun kemudian mendapat perhatian dari Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas. Hingga tahun 2020, mereka sudah mampu mengelola
sampah organik hingga 3 truk atau sekitar 5-6 ton, yang diperoleh dari DLH Banyumas.
Usaha Arky terus berkembang. Banyak
yang mengajaknya bekerja sama dan bermitra untuk menangani sampah. Mulai dari
daerah-daerah yang ada di sekitar Sokaraja, hingga luar Banyumas, seperti Salatiga,
Semarang, Pekalongan, hingga Bali. Dikutip dari mongabay.co.id, kerja sama terbaru
Arky, yang sekarang sudah membawa nama Greenprosa, yaitu perusahaan limbah dan
bioteknologi yang berpusat di Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, adalah
dengan Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, karena di TSI sendiri memiliki banyak
sampah organik. Menurut Arky, TSI Bogor ini nantinya akan akan menjadi
percontohan bagi TSI lainnya.
Arky melalui Greenprosa bekerja sama dengan TSI untuk mengelola sampah organik |
Sampai saat ini, Greenprosa sendiri mampu
mengelola sekitar 40 ton sampah organik, dan jika ditotal dengan mitra mereka yang
saat ini jumlahnya lebih dari 2.500 orang, maka total sampah organik yang mampu
diolah mencapai 60 ton per harinya. Masalah sampah organik yang menguarkan bau
pun bisa ditangani secara cepat oleh para maggot ini. Lalu pupuk yang dihasilkan
bisa dimanfaatkan oleh para petani, dan maggotnya sendiri bisa dijadikan bahan
dasar pakan ternak. Semuanya bermanfaat.
Ketika menjelajah ke website Greenprosa.co.id,
ternyata usaha budidaya maggot ini tak saja bermanfaat untuk mengatasi masalah
sampah secara berkelanjutan, menjadi solusi paling efektif dan ramah
lingkungan, serta berdampak secara ekonomi, namun juga bermanfaat dalam pemberdayaan
masyarakat, khususnya pengelola sampah, peternak, dan para petani. Sesuai
dengan slogan Greenprosa, yaitu “Sustainable Protein, Sustainable Environment”,
sebuah konsep sirkular ekonomi untuk menciptakan Industri Hijau Berkelanjutan,
berbasis pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Dari Maggot dan Sampah Menjadi Berkah
Siapa sangka usaha budidaya maggot yang
dilakukan Arky, yang awalnya hanya berniat untuk mengatasi masalah sampah di
kampungnya berbuah manis. Segala kebermanfaatan yang diperoleh dari budidaya
maggot tersebut mendapatkan apresiasi dari Grup Astra melalui SATU Indonesia
Awards. Nama Arky Gilang Wahab tertera sebagai penerima Apresiasi 12th
SATU Indonesia Awards 2021 untuk Kategori Umum di Bidang Lingkungan, sebagai
Penggerak Program Sistem Konversi Limbah Organik untuk Ciptakan Ketahanan
Pangan.
Bangga tentu saja. Selain bisa
bermanfaat untuk lingkungan dan masyarakat, juga karena mendapatkan apresiasi
dari ajang bergengsi yang digelar oleh Astra sejak tahun 2010 tersebut. SATU Indonesia
Awards diselenggarakan sebagai bentuk apresiasi Astra kepada anak bangsa yang
telah berkontribusi dalam mendukung terciptanya kehidupan berkelanjutan, baik
di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi,
serta satu kategori kelompok yang mewakili kelima bidang tersebut.
Semangat Arky untuk mengatasi
permasalahan sampah di desanya sesuai dengan Semangat Astra Terpadu Untuk
Indonesia atau SATU Indonesia, yang menjadi langkah nyata Grup Astra untuk
berperan aktif, serta memberikan
kontribusi dalam meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui karsa,
cipta, dan karya terpadu dalam produk dan layanan karya anak bangsa, Insan
Astra yang unggul, serta kontribusi sosial yang berkelanjutan untuk memberikan
nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Tahun ini Astra kembali mengajak anak
bangsa untuk berkontribusi dan berperan aktif demi keberlangsungan masa depan
bangsa, dengan menggelar Apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023,
dengan mengusung tema “Semangat Untuk Hari Ini dan Masa Depan Indonesia”. Saya yakin
masih banyak Arky-Arky lainnya di luar sana, yang juga pantas mendapatkan
apresiasi dari Astra. Yuk, semangat! “Terus Melaju Untuk Indonesia Maju”.
Referensi:
Sumber data dan foto: E-Booklet Penerima Apresiasi
SATU Indonesia Awards 2023, gramedia.com, radioidola.com, mongabay.co.id,
greenprosa.co.id, dan akun Instagram @arkygilang dan @greenprosa.
0 comments