Pentingnya Sinergi Pentahelix untuk Atasi Stunting dan Gizi Buruk pada Anak di Indonesia
Masalah Stunting dan Gizi Buruk pada Anak di Indonesia (Sumber gambar: akurat.co) |
Gizi buruk yang terjadi pada anak di Indonesia masih menjadi persoalan besar yang harus segera dituntaskan. Tak hanya berdampak serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak saja, namun masalah gizi buruk juga berisiko terjadinya kematian prematur, meningkatkan risiko anak terkena penyakit tidak menular saat mereka berusia dewasa nanti, serta dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di Indonesia ke depannya.
Salah satu kondisi gizi buruk kronis yang terjadi pada anak adalah stunting. Stunting ditandai dengan perawakan tubuh yang pendek pada anak usia di bawah 5 tahun (balita). Walaupun data SSGI dari Kemenkes menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia sudah mengalami penurunan, namun angka tersebut masih berada di atas ambang batas yang telah ditetapkan WHO, yakni lebih dari 20%. Lalu faktor apa saja yang menyebabkan masih tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia, serta bagaimana cara mengatasi persoalan ini?
Untuk itu, Yayasan Abhipraya Insan
Cendekia Indonesia (YAICI) bersama dengan PP Muslimat NU, PP Asisyiyah, dan
mitra YAICI lainnya menyelenggarakan kegiatan berupa forum “Urun Rembuk:
Sinergi Pentahelix dalam Mengatasi Persoalan Gizi Buruk pada Balita di Indonesia”.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 14 Desember 2023 di Hotel Aone,
Jakarta.
Hadir pada forum Urun Rembuk tersebut
para pembicara dari akademisi, pihak swasta yang bergerak di bidang bisnis, pemerintah
yang diwakili oleh pihak Kemenkes dan BKKBN, pihak rumah sakit, komunitas, dan
media, serta tentunya pihak YAICI dan para mitra.
Para Pemateri dan Penanggap dalam Forum Urun Rembuk:
Sinergi Pentahelix dalam Mengatasi Gizi Buruk pada Balita di Indonesia
Membuka kegiatan forum, Ibu Yuli
Supriati sebagai Ketua Bidang Advokasi YAICI sekaligus Sekjen KOPMAS berharap
kegiatan Forum Urun Rembuk ini dapat menjadi wadah untuk bertukar pengalaman, serta
mencari solusi dalam mengatasi masalah gizi buruk pada anak-anak di Indonesia.
Beliau juga mengatakan bahwa untuk mengatasi persoalan gizi buruk pada balita di
Indonesia bukan menjadi tugas pemerintah saja, atau pihak swasta saja, atau pun
masyarakat saja. Namun menjadi tugas bersama. Menurutnya semua pihak, multisektor
harus bekerja bahu membahu untuk menyelesaikan masalah ini.
Sedangkan Kang Maman Suherman, yang
didapuk menjadi moderator pada kegiatan ini mengungkapkan bahwa perjalanan YAICI
dari tahun 2019 sampai 2023, dengan berbagai programnya adalah dalam proses untuk
penyadaran tentang masalah gizi dan kesehatan di Indonesia. Menurutnya hingga
saat ini masih ada orang yang melakukan hal tidak tepat, seperti membagi-bagikan
minuman berpemanis dalam kemasan pada anak-anak.
“1 dari 4 anak di bawah usia 17 tahun, setiap hari mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Upaya pengendalian dalam bentuk penerapan cukai dianggap semakin mendesak, untuk mencegah risiko diabetes melitus dan obesitas yang semakin meningkat di masyarakat,” ungkap Kang Maman.
Survei YAICI: Literasi Gizi dan Kesehatan di Masyarakat Masih Rendah
Sebelumnya YAICI bersama mitra telah melakukan
sebuah penelitian dan survei terkait permasalahan stunting dan gizi buruk yang
terjadi di beberapa daerah yang ada di Indonesia. Hasil survei tersebut
kemudian disampaikan oleh Bapak Arif Hidayat selaku Ketua Harian YAICI dalam
forum Urun Rembuk. Survei dilakukan di beberapa daerah dengan angka stunting
yang cukup tinggi. Hasilnya ditemukan bahwa anak-anak yang setiap hari diberi
jajan oleh orang tuanya, sering menggunakan uang jajannya untuk membeli minuman
berpemanis dalam kotak (kemasan).
“Jadi hampir semua anak yang
diwawancara mengatakan bahwa mereka mengonsumsi makanan di warung yang kadar gulanya
tinggi. Di Sulawesi juga ada temuan, orang tua yang memberikan kental manis
pada anaknya sebagai pengganti susu. Jadi di beberapa wilayah yang kami temui,
anak-anak yang mengonsumsi gula tersebut cukup tinggi, dan itu menjadi basis
tingkat stunting yang tinggi,” urai Bapak Arif.
Lebih lanjut Bapak Arif menyebutkan tentang
temuan lainnya di tahun 2018, seperti di Kendari. Ternyata di sana persepsi
orang tua terhadap kental manis cukup tinggi. Sekitar 97% orang tua mengatakan
bahwa kental manis itu adalah susu. Begitu pun daerah lain, seperti di Batam.
Informasi ini mereka peroleh dari media
televisi dan media cetak yang berisikan iklan dari produsen kental manis, yang
menyampaikan informasi bahwa susu kental manis tersebut mengandung nutrisi, dan
sangat layak dikonsumsi oleh keluarga, minimal 3 kali sehari. Untuk diketahui,
kental manis bukan susu, karena produk ini lebih banyak kandungan gulanya, yang
tentu saja tidak baik untuk kesehatan.
Hasil temuan di Semarang bahkan mengungkapkan
sebuah fakta lain, bahwa ternyata anak-anak yang menderita stunting di sana
kebanyakan bukan berasal dari keluarga tidak mampu. Tentunya ini menjadi sebuah
tanda tanya besar, karena sebagian besar kasus stunting di Indonesia dialami
oleh anak dari keluarga kurang mampu, yang karena kondisi ekonominya, tidak bisa
memberikan makanan yang bernutrisi pada anaknya.
Bapak Arif menyebutkan bahwa
berdasarkan data dari dinas kesehatan di daerah tersebut, kontribusi stunting
di sana yang berasal dari keluarga tidak mampu hanyalah sekitar 20% saja. Dari
temuan ini bisa disimpulkan bahwa faktor ekonomi ternyata tidak menjadi penyebab
utama terjadinya stunting, karena data seperti ini juga ditemukan di beberapa
daerah lainnya, seperti di Yogyakarta.
Dari berbagai temuan di lapangan tersebut,
menurut Bapak Arif, implementasi penanganan stunting dirasa masih belum optimal.
Di antaranya terkait akses masyarakat terhadap informasi yang masih minim,
program yang digelar pemerintah yang tidak selaras, serta minimnya pengawasan
implementasi kebijakan pemerintah.
“Masih banyak ibu-ibu yang tidak tahu
kalau anak mereka terkena stunting. Literasi mereka terhadap gizi sangat
rendah. Misalnya, banyak makanan bermuatan lokal yang bisa menjadi pendamping
ASI, yang tidak mereka ketahui. Seperti di Gorontalo, yang banyak ditemui
tanaman kelor. Namun ternyata masyarakat di sana tidak tahu kalau daun kelor itu
adalah salah satu jenis sayur yang baik untuk mencegah stunting, karena kandungan
nutrisinya. Mereka malah memberikan daun kelor untuk makanan kambing,” ujar Bapak
Arif.
Penjelasan dari Bapak Arif ini diuraikan
dengan lebih lengkap lagi oleh Prof. dr. Tria Astika Endah Permatasari S.KM.,
M.K.M, yang merupakan Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Jakarta, sekaligus wakil ketua dari tim penelitian. Menurut Prof. Tria persoalan
stunting ini tidak bisa dilihat dari satu faktor saja, dan tidak bisa juga hanya
dengan mengandalkan satu penyelesaian, namun harus diselesaikan bersama-sama.
“Di dalam berbagai studi sebelumnya,
kita melihat temuan bahwa literasi masyarakat terhadap penggunaan kental manis
pada balita masih rendah, dan bagaimana tren atau pola konsumsi makanan tinggi
gula ini di setiap negara masih diperlukan informasi lebih lanjut. Lalu ada
juga kesenjangan antara peraturan, praktik industri, dan terutama iklan produk di
masyarakat, khususnya terkait penggunaan kental manis yang perlu digali lebih
lanjut lagi,” jelas Prof. Tria.
Dari hasil analisis, Prof. Tria mengatakan
bahwa secara signifikan stunting ini dikaitkan dengan pengetahuan ibu terhadap
penggunaan kental manis, dan juga pola asuh ibu. Lebih lanjut Prof. Tria menyampaikan
bahwa untuk melihat faktor dominannya, terdapat 4 variabel yang masuk ke dalam
analisis akhir, di antaranya faktor usia dan penggunaan kental manis, yang
termasuk dalam faktor yang cukup mengganggu.
Sedangkan faktor yang signifikan adalah
ibu dengan pengetahuan terkait penggunaan kental manis yang kurang baik cenderung
lebih berisiko 2,51x untuk memiliki balita stunting dibandingkan ibu dengan pengetahuan
terhadap penggunaan kental manis yang baik. Pendidikan ibu juga berpengaruh
terhadap stunting. Ibu yang berpendidikan rendah memiliki risiko 1,69x untuk
memiliki balita dengan stunting.
Studi ini menjadi penting karena beberapa
hal, di antaranya pola makan yang dimulai sejak masa balita biasanya akan
terbawa terus hingga masa dewasa. Apalagi secara alami, balita sangat menyukai
makanan yang manis-manis, sehingga langkah pencegahan perlu dilakukan sejak
dini. Selain itu, pengaruh genetik, lingkungan, dan budaya juga mempengaruhi
perilaku dan meningkatkan preferensi makanan manis pada anak. Beberapa riset
juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan gula dikaitkan dengan kesehatan anak,
seperti karies gigi, obesitas, penurun daya ingat, dan lain sebagainya.
“Dari studi ini, pendidikan dan
pengetahuan gizi ibu, serta usia balita terkait dengan kejadian stunting pada
balita. Sebagian ibu juga menilai bahwa kental manis itu mengandung kalsium
yang tinggi. Begitu pun dengan pengetahuan kental manis terkait dengan penggunaannya
pada balita,” simpul Prof. Tria.
Beliau pun memberikan beberapa
rekomendasi untuk mengatasi persoalan stunting dan gizi buruk, khususnya terkait
penggunaan kental manis pada balita. Pertama, perlunya edukasi mengenai gizi
dan penggunaan kental manis yang tepat secara terus menerus dan masif di lintas
sektor. Kedua, perlu adanya studi tentang dampak kental manis dalam jangka panjang
terhadap kesehatan anak. Ketiga, perlu adanya evaluasi kebijakan tentang
penggunaan kental manis pada anak.
Kegiatan Urun Rembuk ini dilanjutkan
dengan mendengarkan paparan dari para mitra YAICI lainnya, di antaranya dari
Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, dan Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU,
serta tanggapan dari pihak BKKBN, Kemenkes, Dokter Spesialis Anak, KOPMAS,
anggota DPR RI, serta relawan demokrasi PDIP.
Menyelesaikan permasalahan stunting dan
gizi buruk pada balita di Indonesia memang bukan pekerjaan yang mudah. Tak
hanya faktor ekonomi saja, namun tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu, pola
asuh, dan akses layanan kesehatan juga menjadi faktor penyebab terjadinya
stunting di Indonesia. Semua pihak harus saling bahu membahu, bersinergi, dan berkolaborasi
untuk mengatasi masalah ini, baik pemerintah, pihak swasta atau badan usaha,
organisasi, komunitas, media, hingga masyarakat. Dengan begitu, diharapkan anak-anak
Indonesia ke depannya dapat tumbuh dan berkembang menjadi SDM unggul, yang
mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju.
0 comments